Warisan Kakek Yang Telah Hilang



Pulang kuliah pada sore hari yang mendung di rumah panggungku yang nyaman. Aku lapar bangat, ingin sekedar mencicipi jajanan kecil-kecilan saat berada di kampus tadi untuk mengganjal perut, namun di kantong tidak tersedia uang sedikitpun. Aku sudah menggunakannya untuk kebutuhan yang lain. Sesampai di rumah panggungku yang nyaman aku ingin sekali langsung makan, namun tidak tersedia sayuran seperti yang biasa aku lihat, meski sayurannya cukup sederhana yang dibeli oleh istriku di pasar sore tradisional kampungku setiap sore.

Entah kenapa hari ini istriku tidak membeli sayur mayur, bukan karena tidak ada uang, toh harga sayur mayur sederhana di pasar sore tradisional kampungku tidak mahal-mahal bangat. Dengan mempunyai uang Rp 2.000 s/d Rp 5.000 sudah cukup untuk membeli kebutuhan lauk pauk dan sayur-sayuran untuk sore dan malam hari.
 
Setelah merapikan buku-buku dan bahan kuliah serta mengganti pakaianku, aku hanya bilang kepada istriku “aku mau pergi kekebun (nggaro; mbojo/bima) untuk mencari sayur-sayuran”. Aku perlukan untuk mencari salah seorang tetanggaku untuk aku ajak serta membantu aku. Syukur, tetanggaku ini bersedia dan mau ikut dengan aku. Kita pun pergi ke kebun (nggaro) warisan almarhum kakekku. Kebun yang diwariskan kakekku ini tidak luas, hanya sekitar 10 are, letaknya juga tidak jauh dari kampung sebelah tetangga kampungku. Perjalanan kita tidak membutuhkan waktu lama, kira-kira hanya membutuhkan waktu lebih kurang 15 menit perjalanan untuk sampai pada kebun yang diwariskan almarhum kakekku.  

Dulu…
Pada saat almarhum kakekku masih hidup, saat aku masih kanak-kanak usia Sekolah Dasar. Aku biasa diajak almarhum kakek untuk pergi kekebunnya ini hanya sekedar untuk memakan kelapa muda dan hasil kebun lainnya. Sekitar dua minggu sekali almarhum kakek, aku dan juga saudaraku pergi kekebun kecintaannya ini. Kadang, aku selalu merindukan untuk selalu ikut dengan almarhum kakek pergi kekebunnya ini.

Seiring penziarahan waktu yang berlalu begitu cepat, aku tumbuh besar layaknya kanak-kanak kebanyakan. Aku sudah tidak sering mengikuti almarhum kakek untuk pergi bersamanya ke kebunnya. Namun, sesekali aku bersama teman-teman sepermainanku tanpa sepengetahuan almarhum kakek pergi ke kebunya untuk menikmati hasil kebunnya. Setelah pulang kerumah, aku biasannya baru memberitahu almarhum kakek bahwa aku tadi pergi bersama teman-temanku ke kebunnya.


Seiring penziarahan waktu yang berlalu begitu cepat, aku tumbuh besar layaknya kanak-kanak kebanyakan. Aku pun tidak pernah lagi pergi ke kebunnya almarhum kakek. Karena aku sudah tumbuh menjadi remaja yang tidak dibanggakan oleh almarhum kakek. Atas saran almarhum kakek dan juga keinginan kedua orang tuaku, aku dikirim untuk melanjutkan SMA di Denpasar Bali, selama beberapa tahun aku berada dibumi para dewa untuk menyelesaikan SMA. Aku praktis sudah melupakan kebunnya almarhum kakek. Setelah SMA selesai, Jakarta menjadi “tujuan” aku selanjutnya untuk melanjutkan sekolah atau kuliah. Aku praktis sudah melupakan kebunnya almarhum kakekku.

Seiring penziarahan waktu yang berlalu begitu cepat, aku tumbuh layaknya kanak-kanak kebanyakan. Singkat cerita nih. Beberapa tahun kemudian, saat aku liburan kuliah dan memilih untuk pulang kekampung halaman orang tua dan juga almarhum kakek. Kakekku meninggal dunia dengan membawa serta segala amal ibadahnya semasa masih hidup. Untuk ukuran keluarga besar kami, ada banyak hal yang diwariskan almarhum kakekku. Diantaranya, yang diwariskan almarhum kakek adalah harta bendanya yang sedikit, kesederhanaan hidup sebagai seorang petani yang ta’at (religius) bersahaja, kearifan dan kebijaksana hidup yang banyak, kitab-kitabnya yang tidak pernah menarik perhatianku untuk aku baca namun aku kumpulkan untuk aku simpan dengan baik sebagai warisan langsung almarhum kakekku. Untuk ukuran keluarga besar kami, ada banyak hal yang yang diwariskan almarhum kakek.

Kini…

Aku, setelah gagal menjadi sarjana formal diperantauan menuntut ilmu di Jakarta, aku kembali kekampung halaman almarhum kakek, almarhum bapak (abu)ku untuk melanjutkan penziarahan hidup yang fanah ini. Menikah. Insya Allah sebentar lagi mempunyai seorang anak yang nantinya akan aku wariskan hal yang sama seperti warisan almarhum kakek. Untuk ukuran keluarga besar kami, ada banyak hal yang diwariskan almarhum kakek.

Nah kembali ke cerita awal…

Kita (aku dan tetanggaku), sampai pada salah satu kebun warisan almarhum kakek yang tidak luas ini. Sebenarnya bukan kali ini saja aku pergi ke kebunnya almarhum kakek sejak aku kembali dari perantauan menuntut ilmu di Jakarta. Cuman baru sekarang aku sempat menuliskannya untuk teman-teman grup ini. Kebetulan juga nih teman-teman, aku lagi belajar menulis. Meski jiwa dan raga lelah beraktifitas di sawah dan aktifitas lainnya, kita (setidaknya aku) sempatkan untuk menulis meski satu kalimat saja.

Sampai pada kebun warisan almarhum kakek yang tidak luas ini, aku mendapati kenyataan bahwa kebun (juga kebun yang ada disekitarnya) warisan almarhum kakekku saat ini telah beralih fungsi. Sudah disulap menjadi pekarangan sawah untuk menanam tanaman padi dan bawang merah. Hanya tersisa beberapa pohon pisang dan pohon kelapa di pinggir (pematang)nya saja. Pohon-pohon kelapa yang banyak, beberapa pohon mangga dan nangka, juga pagarnya pohoh-pohon bambu hidup yang lebat, kini sudah tiada lagi. Warisan almarhum kakek yang satu ini (kebunnya) telah hilang oleh zaman yang terus bergerak…


“Zaman Bergerak”, ngga nyambung yaachehehe…!@#

Ngali, 10 Maret 2012
===============
PS
Maaf yaaa teman-teman group!
Kalau ada kesalahan ejaan, diksi, kalimat, dan makna pada “cerita” diatas!
Salam Hangat
Amrullah

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar Anda. Kami akan menjawabnya dalam waktu dektat. Salam Tani

Copyright © Permata Bima - Blogger Theme by BloggerThemes