Oleh: Muslimin Syahrijal
Potensi besar pertanian nasional kita tersandera oleh kebijakan politik
pertanian pemerintah yang tidak berpihak pada kepentingan para petani. Sektor
pertanian sebagai tulang punggung ketahanan pangan nasional selama ini masih
belum memperoleh perioritas pelayanan yang mampu mendorong daya kreativitas
para petani untuk bekerja optimal guna memenuhi kebutuhan pangan nasional serta
pemberdayaan masyarakat semakin jauh.
Banyaklah sudah bukti menunjukkan, para petani selalu menjadi obyek derita
kebijakan politik pemerintah yang tidak berpihak. Di musim penghujan, para
petani yang berbasis di desa-desa terpencil areal sawahnya terendam air. Mereka
pun gagal panen sehingga kerugian tidak terhindarkan.
Sedangkan dalam kondisi normal yang acapkali terjadi adalah kelangkaan pupuk dengan harga yang sangat mahal beserta obat-obatannya. Sementara di musim kemarau sawah mereka kekurangan air sehingga terjadi puso. Proses panen yang tidak sempurna ini berpotensi besar merugikan para petani.
Sedangkan dalam kondisi normal yang acapkali terjadi adalah kelangkaan pupuk dengan harga yang sangat mahal beserta obat-obatannya. Sementara di musim kemarau sawah mereka kekurangan air sehingga terjadi puso. Proses panen yang tidak sempurna ini berpotensi besar merugikan para petani.
Derita ini pun belum berakhir. Setelah panen, para petani dihantui
perilaku tengkulak yang selalu menetapkan harga pasar gabah, dan lain-lain yang
cenderung merugikan petani. Inilah yang saat ini terjadi.
Memang haruslah diakui, secara konseptual di atas kertas, pemerintah melalui Departemen Pertanian memiliki program penyuluhan pertanian sebagaimana diatur dalam PP No. 42/2009 menyangkut soal pembiayaan, pembinaan dan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan. Ditengarai kini ada 16 badan koordinasi penyuluhan dan 8 badan ketahanan pangan dan penyuluhan di tingkat provinsi, sekitar 116 badan pelaksana penyuluhan dan 147 badan ketahanan pangan dan penyuluhan di tingkat kabupaten/kota dan ada 354 gedung badan penyuluhan pertanian bantuan Bank Dunia.
Memang, sebagaimana diakui pemerintah bahwa sistem penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan selama ini belum berfungsi efektif. Ada beberapa faktor mengapa instrumen ini tidak berfungsi efektif dalam proses pemberdayaan masyarakat petani selama ini.
Pertama, secara kuantitatif tenaga penyuluh pertanian, juga perikanan dan kehutanan kita tidak memadai dilihat dari perspektif luasnya geografis areal pertanian di negeri ini. Betapa tidak, dari 73 ribu desa, hanya ada 55 ribu tenaga penyuluh. Dari jumlah ini, 24.755 penyuluh adalah tenaga kontrak. Sedangkan 30.245 lainnya tenaga penyuluh dari unsur PNS.
Dilihat dari berbagai perspektif terkait dengan kebutuhan pembinaan, pemberdayaan dan pengembangan sektor pertanian sebagai tulang punggung ketahanan pangan nasional, jumlah penyuluh ini sangatlah tidak memadai. Paling tidak harus berbanding lurus dengan jumlah desa, yakni 73 ribu tenaga penyuluh. Memang, idealnya mesti ada 2 tenaga penyuluh setiap desa.
Kedua, secara kualitatif, dari total 55 ribu tenaga penyuluh itu tidak sedikit yang tidak memiliki pengetahuan memadai terkait dengan agenda penting di sektor pertanian. Artinya, banyak penyuluh yang pengetahuannya tidak lebih baik dari para petani itu sendiri. Sehingga, yang terjadi di lapangan mereka justru belajar dari para petani.
Sementara hasil pantauan di lapangan menemukan fakta banyaknya para penyuluh yang malas turun ke lapangan, terutama para penyuluh dari unsur PNS. Faktor dibalik itu, barangkali mereka berpikir bahwa bekerja atau tidak bekerja hasilnya sama, pasti nerima gaji setiap bulan. Dengan demikian, maka praktis yang selama ini berfungsi efektif dalam proses penyuluhan itu (dengan segala keterbatasannya) adalah para penyuluh tenaga kontrak.
Catatan editor:
Tulisan di atas mendapat tanggapan beragam. Adit Yar
adalah orang pertama menanggapi tulisan di atas. Ia mengatakan, “sadar akan
keadaan sperti itu, Solusinya bagaimana? Apa sbgai petani harus tunggu
kebijakan lg. sampai kapan hrs bgn trs...,” ungkap Adit.
Ma’ruf Belo tak mau ketinggalan. Ia mengatakan bahwa fenomena alam ( banjir dan kekeringan) memang
kerap terjadi setiap tahunnya dan menyebabkan kerugian baik bagi petani dan
juga masyarakat lainnya. Dan kita tidak bisa menyalahkan pemerintah atau para
politikus, semua kembali pada kita manusia dan ini sebagai ujian dan peringatan.
Ma’ruf
menambahkan, berbicara harga gabah saya rasa saat ini klo memang rendah itu
berapa nilai rupiahnya, karena berdasarkan analisis biaya dan pendapatan
komodti padi bahwa dalam 1 ha bisa menghabiskan biaya sebesar Rp. 7.000.000,
dengan kisaran produksi 6.000 kg. Dari biaya dan produksi tersebut maka kita
bisa perhitungkan HPP= harga pokok produksi = RTp.7000.000 : 6000 = Rp. 1.167,
artinya untuk memproduksi gabah 1 kg biaya yg dikeluarkan adalah Rp. 1.167. Nah
berapa harga jual gabah yg rendah saat ini mewnurut anda.
“Pada prinsipnya
penyuluh pertanian itu adalah merupakan orang-orang yang berkualitas
dibidangnya, tapi maslahnya sampai sejauh mana perhatian pemerintah daerah
terhadap Penyuluh pertanian perlu dipertanyakan terlebih di era OTODA,” tutur
Ma’ruf.